SEJARAH RAKYAT | SOSOK KH.DJAHARI AL BANTANI

Urang Cirumpak. 
Di Kampung ini bermukim sebagian rombongan jawara Banten yang utus Sultan Banten untuk memperluas lahan pertanian dan irigasi sebagai cadangan pertanian unggulan untuk memenuhi kebutuhan para pejuang Muslim dalam melawan penjajah Belanda.

Jauh sebelum rombongan jawara Banten dari Cirumpak, Balaraja, yang dipimpin oleh Mintarudi Alias Mukhtarudin bin Ajir membuka lahan pertanian dan menempati Kampung Pisang Batu bagian utara, mereka juga membuka lahan pertanian padi, dan menanam pohon salak. Tempat penanaman pohon salak itu di kemudian hari dikenal sebagai Kampung Utan Salak.

Sepanjang perkampungan membentang dari selatan ke utara nama-nama kampung berkaitan dengan sayuran dan buah-buahan, misalnya, Kampung Pisang Batu, Kampung Utan Salak, Kampung Kranji, Kampung Pete Cina, dan Kampung Gabus. Di kampung-kampung tersebut menetap para keturunan jawara banten, sehingga sampai sekarang bahasa yang digunakan sehari-hari di kawasan itu, bahasa Jawa Banten, atau Jawa Serang.

Dari Sakman Menjadi Djahari
Tahun 1832, saat kekacauan merajarela di Kesultanan Banten akibat campur tangan dan praktik politik adu domba yang dilancarkan Belanda, Mukhtarudin bin Ajir dan Sariman yang sebelumnya telah membuka lahan pertanian di Pisang Batu, memutuskan hijrah ke Utan Salak, setelah sebelumnya singgah di Jatinegara. dari pasangan suami istri (pasutri) inilah sekitar tahun 1848, lahir seorang bayi yang diberi nama Sakman. Kelak, nama itu dimaknai orang sakti mandraguna, lantaran anak laki-laki dari pasutri asal Banten itu memilki sejumlah kelebihan dalam ilmu kanuragan.

Sakman memang dididik oleh kedua orang tuanya dengan ilmu agama islam dilengkapi dengan ilmu kanuragan. Secara khusus, kedua orang tua Sakman mengirim anak lelakinya itu ke sebuah pesantren untuk mendalami ilmu agama Islam. Dengan tempaan itu, Sakman tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan alim.

Setamat dari pesantren, Sakman kembali ke Utan Salak. Manakala melihat para utusan Kesultanan Banten yang berada di bagian barat Utan Salak (Bulak Kunyit) tidak menjalankan amanah Sultan membuka lahan pertanian sebagai program di pesisir utara Pulau Jawa dan tidak menjalankan syariat Islam, Sakman berinisiatif menginsyafkan mereka agar kembali ke jalan Allah SWT, seperti menegakan shalat lima waktu, melaksanakan puasa Ramadhan, menunaikan zakat, dan berhaji ke Tanah Suci.

Pada tahun 1865, dalam usia 17 Tahun, Sakman pulang ke negeri leluhurnya di Banten mencari guru mengaji dari beberapa kiai, Sakman mempelajari ilmu agama Islam. Sementara itu keadaan di negeri jajahan Belanda didera kekacawan. Di Banten, rakyat mulai melakukan protes terhadap pemerintah kolonial Belanda.

Selain memperdalam ilmu agam Islam, Sakman terus melakukan tirakat (kahlwat) menempah dan mengasah diri dan pikiran. Pada tahun 1875 Sakman kembali ke Bekasi. Pada tahun itulah atas restu kedua orang tua nya, Sakman menikah dengan Darminah anak perempuan H. Sanusi salah seorang keturunan jawara Banten. Setelah menikah, Sakman menetap di Kampung Ceger.

Saat itu ketidaksukaan Sakman terhadap penjajah Belanda mulai muncul sejalan dengan kesadarannya bahwa penjajah Belanda merampas bangsa dan negaranya, hingga menyebabkan rakyat menjadi miskin dan menderita. Dengan sikap itu, Sakman meningkatkan aktivitas dakwahnya di Kampung Ceger dan sekitarnya- Kampung Telar, Pulo Gebang, Sasak Bakar, Tanah ungkuk, Gabus, Kosambi, Mulo TIga, Pulo Murub, Kobak Badak, dan Builak Kunyit- sambil memberikan kesadaran pada masyarakat mengenai arti penting perjuangan untuk mengusir penjajah Belanda.

Kehidupan penduduk di tempat yang di singgahi Sakman tak menentu, begitu juga dengan kepercayaannya. Masyarakat masih banyak percaya kepada kekuatan alam, menyukutukannya dengan Allah yang Maha Kuasa. Mereka mempercayai pohon besar, sesaji pada setan, dan tidak segan melakukan kejahatan seperti merampok.

Para jawara Kampung, tidak bersimpati kepada Sakman yang membawa ajaran agama Islam, sehingga menjadi perseteruan hebat. Sering terjadi adu kekuatan ilmu kanuragan. Dengan ijin allah SWT Sakman dapat menaklukkan mereka dari ilmu kekebalan dengan mematahkan golok, tombak,dan rotan. Para jawara dari kampung-kampung takluk dan menjadi muridnya.

Sakman pernah dijamu penduduk Ceger. Ketika itu dalam gelas yang hendak diminum oleh Sakman, tiba-tiba gelasnya retak dan pecah, tuan rumah pucat pasi. Sakman selamat, lalu tuan rumah yang bermaksud jahat berikrar menjadi muridnya.

Sakman tahu ulah penduduk setempat bermaksud menghalangi dakwahnya dengan cara kekerasan. Hal itu membuat Sakman bertambah keras. Dia menantang semua jawara dengan menumpas perilaku khurafat, sesaji-sesaji diobrak abriknya, upacara kesenian untuk pohon kepercayaan penduduk di hentikan nya dan kesenian Ronggeng berbau maksiat ditumpasnya.

Peristiwa tersebut membuat sebagian antek-antek penjajah Belanda sakit hati. Mereka terus mencari Sakman namun tak membuat Sakmak gentar apalagi menghentikan dakwahnya.

Dia terus berdakwah dengan berindah-pindah dari satu daerah ke daerah lainnya, Sakman tidak lupa mempersiapkan generasi penerus. Tahun 1882, Sakman membuka pengajian anak-anak. Sedangkan tahun 1890, Sakman mentalqin Thariqat Qodiriyyah dan Naqsabandiyyah kepada teman pesantrennya, Syaikh Asnawi Caringin, bahkan diangkat sebagai Mursyid (Pimpinan) Thariqat. Dengan kesibukannya mendidik anak-anak mengaji, dan memimpin Thariqat, Sakman tidak melupakan tugasnya menyadarkan para jawara Banten mengenai pentingnya perjuangan untuk mengusir penjajah Belanda. Oleh karena itu, Sakman tetap bolak-balik antara Bekasi dan Banten.

Atas saran sahabatnya, Syaikh Asnawi Caringin, pada tahun 1891 Sakman menunaikan ibadah haji. Kesempatan ini digunakan Sakman untuk lebih memperdalam pengetahuannya mengenai agama Islam kepada K.H.M Syadzali dan Syaikh Al-Maliki Al-Maky. Di Tanah Suci inilah, Sakman mengganti namanya menjadi Muhammad Djahari. Kaum Muslimin kemudian mengenalnya sebagai K.H.M Djahari Mintar Al-Bantani.

Bung Karno Berterima Kasih
Tahun 1914, Djahari mengubah musholla santri menjafi Masjid Jami’. Dari masjid, Djahari membangun misi dakwah lebih luas. Santrinya semakin banyak. Mereka datang dari berbagai daerah, antara lain Banten, Bogor, Karawang, Pamijahan, Purwakarta, Cirebon, Lampung dan dari beberapa daerah di Sumatera.

Seiring dengan meningkatnya kesadaran nasional, bangkit pula pergerakan kemerdekaan. Di Banten kesadaran ini justru telah mendahului zamannya. Pada tanggal 9 Juli 1888 pecah pemberontakan petani Banten dipimpin oleh H. Wasid dari Beji. Di pihak pemerintah kolonial Belanda jatuh korban sebanyak 17 orang termasuk Asisten Residen, Wedana, Ajun-Kolektir, dan sejumlah pejabat Belanda lainnya. Di pihak pemberontak, seluruh korban berjumlah 30 orang termasuk H.Wasid, H. Usman, dan H. Ishak. Di antara tokoh-tokoh yang disebut-sebut turut merencanakan pemberontakan yang melibatkan 1.700 petani itu antara lain H. Marzuki dan H. Asnawi. Mereka merencanakannya sejak Februari 1888 dengan melakukan pertemuan-pertemuan tertutup di Tanara, Trate, Saneja, Beji dan Kaloran.

Pada 1921, Syaikh Asnawi Caringin-yang pada tahun 1888 menjadi salah seorang Pemberontakan Petani Banten atau yang di kalangan masyarakat populer dengan sebutan “Gecer Cilegon”- ditangkap Belanda. Djahari menjemput dan membebaskannya. Pada 1926, Asnawi ditangkap kembali dan dipenjarakan di Purwakarta. Djahari pun membebaskannya. Lalu tahun 1948, Asnawi lagi-lagi ditangkap dan dipenjarakan di Cianjur, Djahari kembali membebaskannya sehingga membuat Belanda murka kepada Djahari.

Dukungan Djahari kepada perjuangan kemerdekaan tidak pernah surut. Sesudah kemerdekaan diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Djahari berada di pihak Republik. Mengingat pengaruhnya yang besar, baik penjajah Belanda maupun Jepang pernah menawari Djahari kedudukan empuk, tetapi semua tawaran itu ditolaknya. Kiai Djahari memilih berpihak kepada bangsanya sendiri.

Di masa revolusi kemerdekaan, Kiai Djahari menjalin hubungan erat dengan para pejuang kemerdekaan, antara lain dengan Komandan Batalyon III Hizbullah, K.H Noer Alie. Sesuai dengan keulamaannya, Kiai Djahari memberi sentuhan spiritual kepada para pejuang kemerdekaan, sebelum mereka berangkat ke front pertempuran. Hampir semua pejuang Muslim dan laskar rakyat, termasuk laskar Hizbullah sebelum maju ke medan perang terlebih dahulu menghadap Djahari.

Menggunakan kuda putih kesayangannya, Kiai Djahari berkeliling dari pos-pos pejuang kemerdekaan, antara lain di Gabus, Pulo Puter, Jatinegara, Tambun, Pisangan dan tempat lainnya untuk memberi semangat kepada para pejuang dalam mengusir penjajah Belanda. Kiai Djahari dikenal sebagai motivator pejuang kemerdekaan di wilayah Bekasi Utara dan sekitarnya.

Dalam memberikan motivasi, Kiai Djahari tidak pandang bulu, semua kelompok pejuang seperti Sumber Nyowo, Galak Hitam, Laskar Rakyat, Tentara Republik Indonesia (TRI), dan para pejuang Muslim yang bergabung dalam Hizbullah dan Sabilillah, diberinya semangat untuk terus berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Atas peranannya yang signifikan dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, menurut sebuah riwayat, Proklamator dan Presiden pertama Republik Indonesia Sukarno di awal kemerdekaan sengaja datang ke Kampung Ceger untuk menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Kiai Djahari atas dukungannya yang tak mengenal rasa lelah pada perjuangan kemerdekaan.

Warisan Kiai Djahari
Setelah pengakuan kedaulatan, Kiai Djahari lebih memfokuskan kegiatannya kepada pendidikan. Mekipun pada pemilihan umum 1995, dia memberi restu kepada Partai Masyumi dan Partai Nahdlatul Ulama, tetapi Kiai Djahari menolak aktif di partai politik. Kepada K.H Noer Alie dan K.H. Anwar Kaliabang Bungur, Kiai Djahari mengatakan dirinya sudah tua dan akan fokus pada pembinaan umat melalui pondok pesantren.

Kiai Djahari memimpin umat membangun Masjid Agung Ceger. Atas jasa dan khidmatnya kepada umat dan bangsa. Masyarakat ceger sepakat untuk mengabadikan nama Kiai Djahari, sehingga masjid itu diberi nama “Masjid Agung Al-Ajhariyyah”.

Meskipun usianya sudah sangat lanjut, namun suaranya masih tetap keras dan kencang. Apabila jemari tangannya memukul meja atau lantai, keluar suara bagai benturan antara besi dengan besi. Jamaah yang mendengarnya, merinding.

Setiap kali Kiai Djahari melewati suatu kampung, masyarakat berjejer di kiri-kanan jalan menunggu untuk bersalaman dengan Kiai Djahari. Setelah itu, masyarakat tidak langsung beranjak. Mereka masih berjejer sampai ulama yang mereka hormati itu hilang dari pandangan mereka.

suaranya yang lantang dan keras, Kiai Djahari menyampaikan nasehat atau tausyiah dengan penekanan kepada masalah shalat, zakat, menuntut ilmu, berhaji, serta kerukunan antara sesama anak bangsa.

Kiai Djahari keliling kampung sampai ke pesisir pantai utara. Pengajian setiap hari Senin pagi dijadikan sarana untuk memperjelas hubungan negara dan agama Islam yang kemerdekaannya dipertahankan oleh kaum Muslimin. Umat dididik dengan tauhid dan aqidah Islam. Suaranya yan lantang dan keras, Kiai Djahari menyampaikan nasehat atau tausyiah dengan penekanan kepada masalah shalat, zakat, menuntut ilmu, berhaji, serta kerukunan antara sesama anak bangsa.

Di usia 120 tahun, pada 1968 Kiai Djahari menunaikan ibadah haji untuk yang kesepuluh kalinya. Meskipun usianya sudah sangat lanjut, namun jalannya masih cepat, fisikmya kekar dan suaranya bertambah nyaring, melengking dan tinggi.

Pada hari Jum’at ba’da subuh pada tanggal 23 Rabiul Akhir atau tahun 1972, beliau menghadap Sang Khaliq dalam usia 125 tahun. Beliau dimakamkan di belakang Masjid Agung Al-Ajhariyyah, Ceger, Desa Muktiwari, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Bekasi, Provinsi Jawa Barat. Makam Kiai Djahari banyak dikunjungi peziarah dari berbagai daerah di tanah air. Kunjungan para peziarah lebih banyak di malam Jum’at hingga memenuhi ruang dalam Masjid Agung Al-Ajhariyyah.

Kepada kaum Muslimin, Kiai Djahari mewariskan 10 binaan Masjid Jami’, 69 binaan musholla, 69 Majelis Taklim Kaum Ibu, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Pondok Pesantren Al-Ajhariyyah, Majelis Dzikir Thariqat Qodariyyah wan-Naqsabandiyah.

Cerita Rakyat di Sekitar Kiai Djahari
Saat mengontrol front pejuang di Cemara, Karawang dan Cikampek, mendadak hujan turun, sementara makanan habis. Lalu Kiai Djahari mengumpulkan seikat batang padi, lalu berdzikir, bertahmid dan bertahlil. Atas izin Allah SWT, batang padi tersebut berubah menjadi makanan.

Salapian adalah salah seorang pemimpin perjuangan dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang bermarkas di Sasak Bakar dan Cibarusah. Salapian bercerita kalau Kiai Djahari memanggil para Kiai, kawan seperjuangannya cukup menghubunginya dengan seutas tasbih dan selang beberapa jam kemudian para Kiai itu berdatangan.

Dalam suatu perjalanan, Kiai Djahari dihadang pasukan Belanda. Sambil menodongkan pistol, seorang tentara bertanya, “Tuan kenal dengan Djahari?” Lalu dengan tenang Kiai Djahari mengeluarkan sehelai daun rokok kawung dan mengarahkan ke dada Belanda sambil berkata, “Ya, saya yang namanya Djahari.” Spontan tentara Belanda yang bertanya itu gemetar dan meminta-minta agar tidak dibunuh. Dimata mereka, rokok kawung yang dikeluarkan Kiai Djahari adalah sebuah pistol.

Demikian riwayat singkat hidup Kiai Djahari. Bukan untuk di kultuskan akan tetapi lebih sebagai inspirasi, motivasi dan tauladan dari segi kebaikan serta semangatnya bagi generasi dan keturunannya dalam mendakwahkan ajaran Islam dan membangun kerukunan, serta pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)

Daftar pustaka
Hamidullah, Dudun., Maksum, Bahar., dkk. 2016. Ulama Pejuang Kabupaten Bekasi. Majelis Ulama Indonesia: Kabupaten Bekasi.

Jurnalis 
I sadewo Art

Komentar

Postingan populer dari blog ini

18 OBJEK WISATA DI TUTUP SEMENTARA

Al-quran Menegaskan Pentingnya Penghijauan Menanam Tanaman Untuk Kehidupan.